#37 | Metafora Padma - Bernard Batubara

Metafora Padma
Penulis: Bernard Batubara
Penyunting: Siska Yuanita
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2016
Tebal: 168 hal, 18 cm
ISBN: 978-602-03-3297-0


"Kamu harus tahu, Harumi sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas."

"Sejauh yang aku lihat dan hitung, dua puluh enam tubuh manusia tergeletak di jalan raya. Sepuluh telentang, enam belas telungkup. Beberapa di antaranya berbaring di sebelah benda-benda--patahan kursi, parang berlumuran darah, pecahan botol kaca, mungkin botol minuman keras. Semuanya rebah di atas darah mereka sendiri. Kau bisa yakin mereka semua sudah menjemput ajal, tapi bisa juga kalau ku bilang mereka cuma tidur di atas kehidupan, karena darah itu adalah yang sebelumnya membuat mereka hidup.

Metafora Padma, satu di antara belasan cerita dalam buku ini.


"Kamu harus tahu, Harumi sayang. Pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas."

Metafora Padma adalah salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini, khususnya dalam kategori kumpulan cerpen. Saya mendapatkan buku ini dari event menulis yang diadakan oleh storial.co bekerja sama dengan Bernard Batubara. Senangnya lagi, buku ini juga ditandatangani langsung oleh penulisnya. Barangkali kamu ingin tahu event menulis yang saya maksud, bisa lho diintip di tautan berikut.


Karya teranyar Bernard Batubara ini bisa dibilang memiliki benang merah konflik-konflik yang pernah terjadi di Indonesia meliputi konflik ras, agama atau keduanya dan konflik yang bersinggungan dengan kepentingan politik. Saya sempat berpikir kalau ketiga konflik tersebut sebenarnya sepaket.

Metafora Padma adalah salah satu cerpen yang terdapat dalam buku ini, Padma sendiri adalah nama karakter utamanya. Selain itu ada juga tiga belas cerpen lain yang tak kalah menarik.


-------------------------------------------------------------------------------------

#1 | Perkenalan

Bukankah manusia yang baik adalah manusia yang belajar dari sejarah, terutama yang paling penuh luka? begitu kata Bong. Saya berharap teman-teman tidak melanjutkan pertempuran yang tidak menghasilkan apa-apa selain darah. Pacar saya sebelum Bong juga senang ikut teman-temannya tawuran. Dia berhenti setelah saya berkata kepadanya bahwa saya perempuan; kalau dia ingin darah, saya bisa memberikannya setiap bulan.
hal. 16

----

#2 | Demarkasi

"Kalau Demarkasi artinya garis yang memisahkan orang-orang yang lagi berperang," kata anaknya sebelum percakapan berakhir,  "kenapa orang-orang enggak buat garis demarkasi di seluruh dunia saja, Ayah? Supaya enggak ada lagi perang. Di sekolah Ibu Guru cerita terus soal perang, di televisi juga. Aku bosan dan capek mendengarnya."
hal. 26

----

#3 | Gelembung

Ia melangkah ke tempat tidur, dan naik. Ia berbaring. Melihat kalender terpajang di dinding kamar. Hari ini hari meninggalnya Ibu, ia menggumam. Ibu yang bukan miliknya, kata ayahnya dulu. Karena ia anak pungut. Karena ia anak haram. Karena ia anak perempuan lain yang dimasuki enam belas laki-laki pada waktu yang bersamaan.
hal. 37

----

#4 | Hanya Pantai yang Mengerti

"Penyelam andal akan berkelana dari satu laut ke laut lain. Tapi seseorang yang jatuh cinta akan selalu kembali ke laut yang sama." Gru menggenggam tanganku lebih erat. "Lagi pula, aku bukan penyelam. Bukan peselancar. Aku hanya pantai. Bukan aku, melainkan kamu yang sebentar lagi akan pergi."
hal. 47-48

----

#5 | Rumah

Apakah aku sedih karena tidak ada keluarga yang tinggal cukup lama di dalam diriku? Karena aku tidak menyimpan apa pun selain kenangan yang penuh luka dan sejarah amat lara? Namun, begitu pula yang terjadi dengan teman-temanku. Semua rumah di desa ini menyimpan hal yang sama seperti yang aku simpan. Karena kami semua menyaksikan. Kami semua merasakan. Kami mengalami apa yang semua orang alami saat kerusuhan antarsuku delapan belas tahun lalu.
hal. 56

----

#6 | Obat Generik

"Andai kebodohan bisa diobati, berapa harga obat itu?" tanya kakakku, nadanya hanya seperti melempar tebak-tebakan.
"Entahlah, Kak. Mungkin mahal." Aku melepas ikatan rambut dan menggelung kembali rambutku, kemudian mengikatnya lagi.
"Harusnya obat bagi kebodohan manusia masuk golongan obat generik. Murah, tokcer. Tapi, Tuhan tak mau semua orang jadi pintar.
hal. 66

----

Ringkasan Cerpen Lainnya:
#7 | Percakapan Kala Hujan

"Apa?"
"Kamu seperti calon presiden yang sedang kampanye."
"Maksudmu?"
"Ya. Kamu itu seperti calon presiden. Aku rakyat. Kamu mengajakku bicara baik-baik padahal aku tahu kamu mau membunuhkku."
"Siapa yang mau membunuhmu?"
hal. 76

----

#8 | Es Krim

"Saat Anda pikir dunia tidak bisa lebih buruk lagi, tidak ada satu hal pun yang tersisa untuk dinikmati, Anda bertemu dengan es krim. Sepahit-pahit dan sesinis-sinisnya seseorang, ia akan taluk oleh rasa manis setangkup es krim. Apa pun rasanya tidak masalah. Untuk sesaat, Anda bisa merasakan kembali manisnya hidup dan menemukan alasan mengapa Anda dilahirkan. Meskipun, ya, es krim akan habis menyisakan tangkai, gelas atau cone. Anggap saja itu kenangan, residu dari momen yang indah. Kabar baiknya, Anda selalu bisa mengambil tangkai es krim lagi, satu gelas lagi, atau satu scoop lagi."
hal. 86-87

----

#9 | Alasan

Tidak ada yang perlu dibicarakan, ia membatin. Dirinya yang lain membantah, kita harus terus membicarakannya. Besok saja, ia menjawab. Ada banyak waktu untuk memperbincangkan kekerasan, karena ia terjadi setiap hari, mengenakan wajah yang pernah kita kenal maupun tidak. Tetapi yang ini kekerasan milik kita, oleh kita, dan untuk kita. Mungkin, ia membalas.
hal. 99

----

#10 | Metafora Padma

"Tunggu," kataku. Suaraku terdengar samar di telingaku. "Siapa namamu?"
Ia berhenti melangkah dan membalikkan badan. Ia memandangku. Ia tersenyum. Ia ada lima. Aku memejam dan menggeleng seperti anjing mengibaskan kepala sehabis mandi. Pening. Aku membuka mataku lagi. Ia masih ada di sana. Tidak lima. Hanya satu.
"Padma," katanya. "Namaku Padma. Nama lain dari lotus."
hal. 110

----

#11 | Suatu Sore

"Harusnya manusia takut kepada Tuhan, bukan begitu? Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua hal yang tadi aku sebutkan bukanlah Tuhan." Ia gemetar sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. "Manusia takut pada ulat bulu. Manusia takut pada Tuhan. Ulat bulu adalah Tuhan."
hal. 118

----

#12 | Kanibal


Ujung mata pisau bersentuhan dengan kulit pangkal ibu jarinya. Dingin. Ia memberi tekanan pada pisau tersebut. Lalu, ia menggerakkan pisau ke depan, ke belakang. Bilah tajam pisau menggores kulitnya. Sakit. Ia menggerakkan pisau ke depan dan ke belakang. Seperti sedang menggergaji . Darah mengalir dari pangkal ibu jarinya, bergerak turun, menempel di sampul buku yang menjadi tatakan. Sakit. Sakit. Ia terus menggergaji ibu jarinya dengan pisau dapur.
hal. 126

----

#13 |  Sepenggal Dongeng Bulan Merah

"Selamat datang," kata seseorang dari balik kerumunan. Ia berjalan menyeruak, memperlihatkan dirinya sebagian perempuan yang aku cintai. Ia berpakaian sama seperti ketika aku menemukannya tidak bernyawa dan kemudian menguburkannya, gaun putih sepanjang lutut. "Di sini dunia di balik Bulan Merah, tempat orang-orang mati menemukan kedamaian. Di sini tidak ada darah. Di sini tidak ada amarah. Di sini tidak ada dendam.
hal. 146

----

#14 | Solilokui Natalia

Al-'Alaq, 96:1; Matius, 7:7
Sayup-sayup, aku mendengar Natalia mengucapkan sesuatu dalam harinya. Aku bisa mendengarnya karena ia mengucapkannya dengan tulus dan penuh kesungguhan. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kuatkanlah iman dan Islamku. Kuatkanlah iman dan Islamku...
Kemudian, ia membuka tubuhku pada halaman yang tidak ia tentukan.
"Matius..." Dan di luar, hujan perlahan-lahan berhenti. Langit kembali biru.
hal. 156-157


------------------------------------------------------------------------

Membaca Metafora Padma, saya tidak hanya merasa sedang disuguhi oleh kumpulan cerpen yang bagus tapi juga kesan masa penulisannya yang panjang dan penuh perhitungan. Sebagai pembaca awam, saya merasa buku ini cukup rapi dan memikat.

Saya memiliki beberapa cerita pendek favorit di dalam buku ini, di antaranya adalah Hanya Pantai yang Mengerti, Sepenggal Dongeng Bulan Merah dan Solilokui Natalia.

Hanya Pantai yang Mengerti berkisah tentang perselingkuhan Rui dan Gru. Hubungan mereka bisa dibilang tidak biasa di tengah status Rui sebagai istri orang dan perbedaan usia mereka yang lumayan mencolok. Tapi keduanya saling jatuh cinta dan memutuskan untuk berhubungan. Adapun latar belakang Rui berselingkuh adalah karena dia tidak mencintai pria yang menjadi suaminya sekarang, di tengah prahara perkawinan yang terjadi karena perjodohan dan kemandulan Rui.

Hal yang membuat saya jatuh cinta pada cerpen ini selain konfliknya yang menarik juga karena narasinya yang indah. Banyak perumpamaan soal hubungan mereka yang dikaitkan dengan segala hal berbau laut dan pantai, judul cerpen ini salah satu contohnya. Hanya Pantai yang Mengerti sendiri mengandung filosofi perihal hubungan mereka yang seperti pantai dan air laut. Suatu hari nanti akan ada dari mereka yang pergi.

Sepenggal Dongeng Bulan Merah lain lagi, cerita roman ini dibalut dalam konflik antar suku yang saya yakin merujuk pada salah satu konflik antar suku yang pernah terjadi di Indonesia, hanya saja ada penggunaan nama suku khayalan yang dibikin oleh penulisnya untuk mewakili. Sebagai cerita roman, kisah ini memaparkan perjalanan cinta dua anggota suku yang tengah berseteru, mereka adalah Manu dari suku Riat dan Lidia dari suku Unda'am. Kisah ini berjalan tragis ketika Lidia harus menjadi korban konflik tersebut dan bagaimana Manu mengantisipasi perasaan terluka terhadap sikap dua suku yang terus berseteru meski korban sudah banyak yang berjatuhan.

Sementara itu, Solilokui Natalia mengambil konflik batin tentang kepercayaan dan Tuhan. Natalia digambarkan sebagai seorang muslim namun memiliki paras mayoritas pemeluk agama kristen. Dikisahkan sebagai anak baru di sekolahnya, dia disukai oleh seorang lelaki kristiani bernama Yosua. Natalia merasakan dilema apalagi setelah bertahun-tahun berlalu dan barang pemberian dari lelaki itu masih ia simpan; sebuah alkitab.

Selain masalah konflik-konfliknya yang menarik, beberapa cerpen di dalam buku ini juga mengambil sudut pandang narator yang tidak biasa seperti benda-benda mati macam Alkitab di dalam cerpen Solilokui Natalia atau Rumah di dalam cerpen Rumah. Hal tersebut membuat saya merasa 'menemukan-sesuatu' ketika penasaran dengan identitas si pencerita dan menyadari siapa sebenarnya yang tengah bercerita.

Dan, entah penafsiranku saja atau bukan tapi beberapa cerpen di dalam buku ini tampak didasarkan pada satu keluarga yang sama, seperti dalam cerpen Rumah, Obat Generik, dan beberapa cerpen lainnya karena memiliki latar belakang kehidupan keluarga yang mirip.

Saya sebelumnya pernah membaca karya Bernard Batubara yang lain seperti Cinta dengan Titik dan Surat untuk Ruth dan saya menyukai keduanya. Perbedaan dua novel itu dengan Metafora Padma hanya masalah konflik yang diangkat, selebihnya mengenai gaya penulisan Bara, saya selalu mengaguminya.

Ketika sampai di halaman terakhir ketika membaca Metafora Padma, saya merasa belum kenyang. Saya masih ingin membaca cerpen-cerpen khas Metafora Padma lainnya.

Saya ketagihan!


Post a Comment