Ulasan Buku | Menyikapi Lara Kehilangan Bersama Miya dan Amaya - Erlin Natawiria



Lara Miya
(Serial Blue Valley)
Penulis: Erlin Natawiria
Penerbit: Falcon Publishing
Tebal: 234 hlm; 13x20 cm
Cetakan: Desember, 2016
ISBN: 978-602-60514-3-1


Lara (n) sedih; susah hati

Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.

Di Blok Tiga, ada sebuah rumah bernuansa warna tanah. Pemiliknya seorang perempuan paruh baya yang mengoleksi benda-benda antik. Kalau kau ingin menemuinya, sebaiknya datanglah pukul empat. Dia selalu pulang untuk minum teh. Seorang gadis berambut biru-ungu juga tinggal di sana. Miya namanya. Dan mungkin kau sudah menebaknya, mereka tidak akur.

Miya tidak pernah mengira akan tinggal di rumah tantenya yang seperti kamp militer. Beberapa hari sebelumnya, Miya masih punya tempat pulang. Namun, hidupnya luluh lantak seketika. Dan kini, dia harus memunguti kembali puing-puing dirinya untuk kembali utuh.


Siang yang terik di luar, di telinga saya terpasang earphone yang tersambung dengan salah satu stasiun radio lewat ponsel. Ada tembang-tembang zaman dulu yang kemudian terdengar, tidak  menggebu seperti musik pop masa kini. Entah kenapa, sesuatu yang mengalun tenang seperti ini selalu mengingatkan saya pada masa-masa dulu. Istilahnya bernostalgia dengan apapun yang tebersit. Dari sering menilik ke belakang, saya kadang iseng menghitung-hitung sudah berapa banyak menemukan dan kehilangan yang setiap manusia alami—atau lebih tepatnya saya alami. Dan apakah perasaan punya perhitungan sendiri soal apa seharusnya dia bahagia atau bersedih menyikapi hal tersebut.

Bicara soal kehilangan, adalah premis dari novel-novel Blue Valley yang diluncurkan oleh penerbit Falcon Publishing Desember lalu. Ada total lima novel dari lima penulis, salah satunya yang bisa saya nikmati adalah Lara Miya karangan Erlin Natawiria. Ada cerita mengesalkan dari proses mendapatkan buku ini, melalui sebuah tantangan menulis yang diadakan langsung oleh editornya; Jia Effendi. Saya hampir menyerah karena sampai tenggat belum menyelesaikan cerpen yang akan diikutsertakan, tapi rezeki memang sudah diatur Tuhan. Akhirnya dapat juga.

Duh, maafkan karena menumpang curhat.

Kehilangan bagi saya adalah salah satu peristiwa paling mengiris yang dialami oleh manusia, entah itu kehilangan apa pun, terutama kematian. Sebab berbeda dengan kehilangan benda semacam rumah sekali pun yang terbatas pada dunia fisik, kematian mengantarkan orang-orang yang ditinggalkan bertemu dengan kebuntuan. Tidak akan ada pengganti bagi orang yang sudah tiada, juga perasaan kehilangan yang ditinggalkan. Setiap manusia pasti pernah mengalami kehilangan orang tercinta karena kematian—saya pun begitu, juga Miya.

Sayangnya, kehilangan yang Miya derita adalah dua perpaduan contoh di atas, kehilangan rumah dan orang tercintanya sekaligus; Mutia—sang Mama. Membayangkannya saja tidak kuasa, apalagi ketika mengingat bahwa Mutia meninggal dengan cara yang cukup tragis. Kebakaran. Dan plot ini disimpan Erlin di bagian depan novel, sebuah hook cerita yang keterlaluan menyedihkannya. Terlebih ketika kehilangan rumah dan Mutia menyisakan kehilangan-kehilangan lain yang perlu Miya sikapi dengan lapang dada tanpa air mata.

Whups!

Berutungnya, Miya masih memiliki kerabat dari pihak Mutia yang menanggungnya. Dia adalah Amaya—tantenya, sekaligus orang yang membuatnya tinggal di cluster Blue Valley bersama karakter-karakter novel lainnya. Meski sudah kembali memiliki ‘rumah’, tetap saja kematian Mutia masih membuatnya hilang arah. Ada beberapa jenis duka yang diakibatkan oleh kematian, saya baru mengetahui ini ketika mencari referensi di internet, dan Miya mengalami hal tersebut. Satu hal yang saya pahami, bahwa duka karena kehilangan pun adalah sesuatu yang perlu dimengerti, ada fase demi fase yang jika bisa disikapi dengan bijak maka akan menyisakan sedikit dampak yang berkepanjangan. Meski cara menyikapi duka setiap orang tentu saja berbeda, tergantung pada usia, jenis kelamin dan kematangan emosional. Contoh nyatanya dalam Lara Miya adalah cara Miya dan Amaya menyikapi kehilangan Mutia.

Saya sudah mengganti stasiun radio yang saya dengar ketika mencoba memahami fase-fase duka yang saya temukan di internet dan semacam mencocokkannya dengan kondisi psikologis Miya, kini yang terdengar adalah lagu-lagu Indonesia terbaru, Tulus salah satunya.

Correct me if I am wrong! Ada beberapa teori tentang tahap-tahap berduka yang dialami oleh orang yang kehilangan. Salah satunya adalah teori yang diciptakan oleh Engel (1964) yang terdiri dari lima fase. Jika pada kasus Miya, barangkali alurnya seperti ini, ambil tiga fase pertama saja ya.

Fase I - SHOCK. Fase ini terjadi ketika Miya baru saja tiba di depan rumahnya yang terbakar, dengan kenyataan bahwa Mutia hangus bersama puing-puing rumah mereka. Miya mulai merasakan penolakan di dalam dirinya sendiri terhadap apa yang terjadi.

‘Miya memejamkan mata—ingin memastikan kejadian ini untuk terakhir kali.’ (Hlm. 2)

‘Sampai sekarang, Miya masih belum mau percaya. Sayangnya, perlahan-lahan kenyataan mulai merayapi dirinya. (Hlm. 10)

Fase II – SADAR. Fase ini terjadi ketika Miya mulai tinggal di rumah Amaya dan menyadari bahwa dirinya kini tinggal di rumah orang lain, tanpa Mutia dan ayahnya. Gesekan-gesekan kecil bersama Amaya selalu menyentuh sisi sensitif batinnya.

‘Miya berkali-kali memukul bantal.... Masa berkabungnya belum selesai dan perempuan itu sudah bersikap seolah-olah kematian kedua orang tuanya angin lalu semata.

Seharusnya Amaya yang mengalami duka lebih parah, karena dia lebih lama hidup dan mengenal dalam sosok Mutia. Seharusnya dia juga yang mogok makan berhari-hari da menangis selama berjam-jam. Seharusnya dia yang kesulitan tidur setiap malam.’ (Hlm. 16)

Fase III – RESTITUSI. Fase ini terjadi ketika Miya mulai bersepakat dengan kenyataan yang terjadi dalam hidupnya. Dia mulai kembali masuk kerja sekalipun langsung dipecat karena meninggalkan begitu saja kliennya di Bali. Meski begitu, Miya masih belum bisa menerima perhatian dari orang lain terkait kehilangan yang sedang dihadapinya, perhatian dari Arian misalnya.

“Mi, sori.” Sikap hati-hati yang ditunjukkan setiap orang—termasuk Arian—terhadap Miya membuat gadis itu semakin gerah. Di sisi lain, Miya ingin menumpahkan dukanya yang terbendung dan siap jebol kapan saja. “Mungkin waktu yang kamu butuhkan tidak sebentar, tapi aku yakin satu hari nanti kamu bisa menerima semuanya.” (Hlm. 23)

Dua fase lainnya, silakan pahami dan cocokkan sendiri.

imaginary cast: Miya dan Raeka - source: google, edited
Beda dengan Miya, Amaya selaku orang yang sudah matang secara usia dan emosional menyikapi kehilangan Mutia dengan lebih berterima. Apalagi dia juga sudah pernah kehilangan orang yang paling dicintainya, sang suami. Meski sedih tentu saja adalah satu-satunya pilihan yang tak bisa dihindari tapi juga tidak mengubah keadaan. Maka Amaya menyikapi kehilangan Mutia dengan menjadi Mutia untuk Miya—mewujudkan satu persatu keinginan Mutia yang belum terpenuhi terhadap Miya. Bertentangan sekali dengan cara Miya menyikapi kehilangan ibunya. Jika ditilik pada faktor eksternal di luar cerita, maka ini adalah salah satu tanda kecerdikan Erlin dalam meniupkan ruh ke dalam tokoh-tokoh fiksinya.

Bukan hanya Miya dan Amaya yang berbeda, tetapi juga setiap tokoh dalam Lara Miya saya rasa memiliki hal unik yang berbeda satu sama lain. Hal ini membuat pengidentifikasian tiap tokohnya semakin mudah; Raeka yang dewasa dan penuh perhitungan, Melissa yang kerap kali memanggil orang-orang di sekitarnya dengan nama makanan, Nana yang tampak lebih dewasa dan perhatian terhadap dua teman perempuannya serta Arian yang sering meminta ikut kongkow bareng tapi selalu absen.

Perihal cara rahasia Erlin meniupkan ruh ke dalam karakter-karakter fiksinya, bisa kalian intip di artikel berikut: BICARA — Di Balik Lara Miya, Ada Erlin Natawiria.

Membaca Lara Miya sampai habis, membuat saya sadar bahwa Erlin tidak hanya cerdik dalam membuat karakter-karakter novelnya tapi juga pintar mengatur plot cerita agar tetap menarik dan mencapai klimaks dengan maksimal. Pinch-pinch point-nya bertebaran begitu rapi dan sampai pada twist dengan anggun. Saya tidak mungkin menyebutkan bagian-bagiannya di sini karena akan menjadi spoiler.

Jangan lewatkan bagian akhir dari Lara Miya, saya berani bertaruh itu salah satu bagian terbaik dari novel ini.

Arrhhh, jika kamu mencari novel tentang kehilangan tapi tidak menye-menye dan keren dan bisa dijadikan contoh menulis novel yang baik dan benar, ambil Lara Miya! Maaf, saya sedikit emosional.

Radio saya saat ini sedang mendendangkan suara Tulus. Omong-omong soal mendengarkan lagu, adalah salah satu tips dari Erlin ketika membaca Lara Miya, terutama lagu-lagu milik Tulus dari album monokrom yang menjadi salah satu teman Erlin ketika menulis Lara Miya.

Sekarang, saya sedang mengidamkan Athena dan Playlist.

Sekian!


Post a Comment