Ulasan Buku | Sampai Kapan Kamu Akan Menghindar, Heartling? - Indah Hanaco


Heartling
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 256 hlm; 20 cm
Cetakan: Juni 2015
ISBN: 978-602-03-1592-8



Monster!

Bagi Amara, monster itu bernama Marcello. Monster dengan kenangan-kenangan buruk.
Cowok. Sahabat. Gaun. Pemerkosaan. Rumah Sakit.
Amara tidak lagi menginginkan hal-hal itu hadir di hidupnya.

Seakan takdir belum puas mengolok-olok Amara, monster itu tiba-tiba muncul mengganggu hubungannya dengan Ji Hwan. Tepat ketika dia berusaha membuka hati.

Apa yang harus Amara lakukan?


Saya sudah lama mendengar nama Indah Hanaco di dunia perbukuan dan semakin penasaran ketika tahun lalu ada seorang book blogger yang membuat Reading Challenge khusus buku-buku ibu dua anak ini. Sempat kepo pada karya-karyanya tapi tidak juga menemukan waktu untuk mencicipi bagaimana rasanya. Awal tahun ini, setelah melihat novel terbarunya muncul dalam sebuah seri yang diterbitkan oleh Gramedia, rasa penasaran itu membuat saya mengambil Heartling—salah satu novelnya yang terbit pada tahun 2015. Tidak ada alasan khusus kenapa saya memilih Heartling, selain karena kavernya cantik dan judulnya ciamik. Pun ketika tahu novel ini bukan novel terbaru, lalu sempat terpikir untuk membuat semacam garis start untuk mengenal karya-karya Indah lebih jauh.

Waktu selalu meninggalkan perubahan dalam diri seseorang, begitu juga pada para penulis. Kematangan berpikir, perubahan cara mengelola emosi dan peningkatan kemampuan menulis selalu mudah diamati dalam karya-karya mereka. Saya percaya buku-buku tidak hanya menyimpan sekumpulan ide seseorang tapi juga hal-hal yang telah saya sebut sebelumnya. Maafkan jika ini terdengar mengada-ada, tapi saya dan seorang teman sudah mengamininya. Itu sudah cukup dijadikan sebuah teori bagi kami. Ha!

Berbicara soal perubahan-perubahan dalam diri seseorang, mengingatkan saya pada karakter utama Heartling yang bernama Amara—gadis kuliahan yang terpaksa harus menghilang dari kehidupannya selama satu tahun untuk menyembunyikan sebuah aib besar. Selepas kembali pada dunia nyata, hal-hal tersebut mengubah gadis itu menjadi seorang perempuan peragu dan traumatik.

Mengamati perubahan pada diri seseorang adalah sesuatu yang menyenangkan bagi saya—terutama pada perubahan-perubahan positif. Lain halnya jika perubahan itu menjurus pada sesuatu yang berdampak buruk, barangkali mencoba untuk memahami saja bukan sebuah perkara yang mudah. Ini terjadi pada orang-orang di sekitar Amara ketika mengetahui bahwa si gadis hilang itu telah kembali, mereka tak serta-merta mau memahami kenapa Amara menghilang tetapi sibuk mengurusi rasa rindu mereka sendiri yang telah berubah menjadi rasa kesal.

Kasus yang menimpa Amara hingga keluarganya memutuskan untuk melenyapkan gadis itu sementara ke tempat yang nun jauh itu cukup menarik—atau bolehlah disebut sebuah kasus yang sering kali terjadi, tapi saya enggan melabelinya seperti itu karena ini akan terdengar miris. Seks bebas, entah atas dasar cinta ataupun bernama pemerkosaan, adalah perbuatan yang tidak bisa ditolerir hukum manapun.

Ingat kasus pemerkosaan yang pernah dialami oleh seorang siswa perempuan yang berakhir tragis sampai kehilangan nyawa? Lain cerita kasus yang terjadi pada Amara, dia harus menanggung akibatnya seumur hidup. Seumur hidup!

Beruntungnya, berbagai rasa ragu dan trauma yang diderita oleh Amara pelan-pelan lenyap oleh bantuan sahabat-sahabat dekatnya, terutama kehadiran Ji Hwan. Sekalipun bagi saya perubahan itu tampak tidak mulus karena sifat Amara yang sedikit unreliable. Sementara PTSDsyndrom yang biasanya dialami oleh korban pelecehan seksual ataupun pemerkosaan adalah sebuah gangguan yang bisa dibilang cukup parah. Logikanya, itulah hal yang sebenarnya dialami Amara, sayangnya dia atau keluarganya luput untuk mengidentifikasi gangguan kejiwaan tersebut pada yang lebih ahli.

Hal ini sedikit mengingatkan saya pada kenyataan bahwa orang-orang kita masih menganggap sepele rasa sakit yang timbul di dalam bilik psikologi, semacam sakit hati, depresi, trauma berkepanjangan, dan lain sebagainya. Padahal, hal itu sama saja dengan penyakit fisik yang akan bertambah buruk ketika dibiarkan. Alih-alih akan sembuh oleh waktu. Percayalah, waktu hanya pandai memendam, bukan menyembuhkan.

PTSD adalah Post Traumatic Stress Disorder. National Institute of Mental Health mendefinisikannya sebagai gangguan berupa kecemasan yang bisa timbul setelah seseorang mengalami suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Salah satu bentuk peristiwa tersebut adalah kasus pemerkosaan. Disorder ini terbagi menjadi tiga tipe dan saya lupa mana yang lebih mendekati prilaku Amara. Namun ada beberapa sikap Amara yang berkesesuaian dengan gejala-gejala PTSD secara umum seperti perilaku menghindar, serangan panik, persepsi yang salah, depresi dan lainnya.

Konflik batin ini sebetulnya bisa menjadi salah satu keunggulan Heartling andai dikulik lebih dalam, sayangnya perubahan-perubahan psikologis yang terjadi pada Amara belum terasa begitu dalam. Memang rasanya sedikit berat sih jika menyisipkan hal-hal semacam ini dalam novel bergenre Young Adult, tapi hal tersebut saya rasa bisa menjadi dasar perubahan-perubahan prilaku Amara menjadi lebih reliable.

Memang cinta bisa mengubah segalanya, mungkin itu salah satu hal yang ingin disampaikan dalam Heartling; bagaimana Amara yang traumatik dan memandang buruk semua lelaki kembali menjadi Amara yang loveable dan mampu mengubah persepsinya ke arah yang lebih baik. Atau barangkali Heartling ingin menunjukkan bahwa selalu ada masa depan bagi mereka yang dirundung peristiwa-peristiwa maha dahsyat buruknya di masa lalu. Semacam di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Semuanya menjadi agak berterima dalam fiksi.

Oh, bicara soal emosi—sebelum saya lupa—entah bagaimana saya suka dengan respons Amara ketika mengetahui siapa sebenarnya yang meninggal di Paris—tertawa senang. Semacam, selalu ada karma bagi orang-orang yang pernah menyakiti. Saya menerima bila disebut seorang psiko sekarang kalau dirasa ini tidak manusiawi. Intinya bukan pada merasa senang melihat kesulitan orang lain, tapi pada betapa leganya kita bisa memaafkan orang lain dengan cara yang berbeda. Gimana coba?

Salah satu hal yang membuat saya kagum pada Amara adalah cara dia melarikan diri dari masalah dengan melakukan salah satu jenis olahraga, meski pada akhirnya niat perempuan itu juga tidak bisa dibilang baik karena sampai pada tahap ingin melukai diri sendiri.

Lainnya...

Dalam Heartling, ada beberapa plot yang membuat saya berdecak kaget; kenyataan pahit hidup Amara yang dimunculkan pelan-pelan juga kisah terpisah sahabat-sahabatnya—Sophie dan hubungan antara Ji Hwan dan Marcello. Saya ingin berbagi rahasia itu di ulasan ini tapi akan menjadi spoiler yang keterlaluan. Sayangnya, saya merasa Heartling dieksekusi dengan terburu-buru. Selain karena masalah pendalaman karakter yang telah saya sebut di atas, juga karena cukup banyak typo yang muncul; bahkan dalam judul bab. Ini sedikit mengganggu.

Ah, saya baru ingat kalau saya melewatkan kisah cinta antara Amara dan Pak Reuben. Ini adalah kali pertama saya membaca novel dengan salah satu konflik sampingannya adalah masalah cinta seorang dosen dengan mahasiswanya. Konflik ini muncul di awal-awal cerita ketika Amara kembali berkuliah. Tadinya saya berpikir bahwa Reuben ini hero yang menjadi titik balik Amara menjadi dirinya sendiri sebelum peristiwa pemerkosaan itu terjadi, sayangnya ternyata bukan. Saya melihat itu sebagai salah satu benih cerita yang bagus, padahal.

Well, sampai pada ulasan ini dibuat sebenarnya saya belum menemukan arti dari judul novel ini apa; Heartling. Saya mencarinya di aplikasi kamus offline tapi tidak membantu. Pun ketika saya melirik dua ulasan novel Heartling sebelum ini. Jadi, sepertinya Heartling ini hanya sebuah panggilan sayang Ji Hwan kepada Amara, ya?

Menurut kamu bagaimana, Heartling?


Post a Comment